Selasa, 26 Februari 2013

Imaginary Shaga -5-

Aku melihat Shaga dari balik kaca ruangan ICU bersama Jodi.
Entah apa yang ada dibenakku saat itu melihat lelaki kecilku terbaring lemah diatas tempat tidur dengan alat-alat yang aku sendiri tidak tahu untuk apa.
Seorang suster sedang memasangkan selang infus di tangan kanan dan selang oksigen di hidungnya.
Alat picu jantung telah dipasangkan didadanya. 
Kini aku bisa melihat denyut jantung Shaga dilayar monitor kecil disamping tempat tidurnya.
Jodi merangkulku.
"He'll be fine, darl"
Aku mengangguk dan menatap kosong kedepan.

Mr. Hugo menengok ke arahku dari dalam ruangan.
Ia adalah dokter yang menangani "kasus" kehamilanku dulu.
Pria setengah baya bertubuh tegap dan sangat ramah.
Ia adalah seorang dokter anak yang juga menangani beberapa kasus kehamilan.
Sudah lama sekali kami tidak bertemu dan aku sangat menyesal harus bertemu dengannya di situasi seperti ini.

"How's your feeling, Gill?"
Mr. Hugo menghampiri dan memelukku.
"I'm not sure"
Jawabku cepat.
Aku mencoba tersenyum, tapi entah bagaimana rupa senyumku.

"Hi Jodi, how's Koa?"
Sapa Mr. Hugo kepada Jodi yang berdiri disampingku
"He's good. Thanks" Jawab Jodi sambil tetap dengan posisi merangkulku.
Mr. Hugo pula yang membantu Jodi melahirkan Koa dua tahun yang lalu.
"Shaga baik-baik saja kan, Dok?"
Aku memberanikan diri menanyakan hal tersebut kepada Mr. Hugo.
Bagaimana bisa jawabannya akan baik-baik saja sementara dengan mata telanjangpun aku dapat melihat keadaan anakku tidak baik.

"Kita bicara diruanganku saja ya" Jawabnya sambil menuntunku berjalan.
Jodi ikut bersama kami.
Pandanganku masih terus menatap kearah Shaga yang masih terpejam didalam ruangan kaca.
Seakan berat untuk meninggalkannya.
"Shaga akan baik-baik saja, Gill, para suster akan menjaganya sampai kamu kembali"
Kata Jodi sambil tersenyum dan aku hanya mengangguk.

Kami masuk keruangan Mr. Hugo.
Tidak ada tempat tidur pasien atau ruang tunggu.
Sekilas ruangan ini mirip dengan ruangan kerja Shane dirumah kami dulu.
Dua buah sofa, seperangkat meja kerja dengan dua kursi di depannya, dan banyak sekali foto keluarga terpampang di meja dan di dinding ruangan.

Kami dipersilahkan duduk di meja kerjanya.
"Well, Gill..." Mr. Hugo membuka pembicaraan. Sementara aku masih asik melihat kesekeliling ruangan.
"Aku telah membicarakan kekhawatiran ini kepada Shane saat Shaga lahir...."
Aku menatap lelaki setengah baya dengan jas berwarna putih yang duduk didepanku sambil memangku dagu.
"Pardon?" Aku memotong kata-katanya sambil membetulkan posisi dudukku.
"Maksudmu Shane tau apa yang terjadi dengan Shaga?" Tanya Jodi sambil mengerutkan dahinya.
Wajahnya berubah menjadi serius.
Aku menengok kearah Jodi sambil menunjukan bahwa pertanyaan itu pula yang ada dibenakku.
Mr. Hugo hanya mengangguk.
Itu berarti Shane memang sudah tau apa yang terjadi dengan anak kami.
Rasanya ingin sekali marah, kenapa Shane tidak memberitahukan hal ini kepadaku.

"Ada apa sebenarnya, dok? Apa yang terjadi dengan anakku?"
Tanyaku sambil berusaha menahan air mata yang telah berkumpul di kedua pelupuk mata.
Mr. Hugo menarik nafasnya dalam-dalam.
"Mungkin inilah saatnya kamu harus tau tentang keadaan Shaga yang sebenarnya"
"Sebelumnya kau pasti sudah tau tentang keadaanmu sebelum melahirkan Shaga yang mengharuskan Shane memilih antara kau atau calon anak kalian yang diselamatkan...."
Tanganku mulai berkeringat, jantungku berdetak dengan sangat cepat.
Jodi memegang tanganku.
"Tapi Tuhan Maha Baik, kalian berdua bisa diselamatkan, tapi...." Mr. Hugo menghentikan kata-katanya sambil menatapku.
"Tapi apa?" Aku dan Jodi bertanya bersamaan.
"Tapi dengan keadaan sistem tubuh Shaga yang abnormal"

Aku menghentakkan tubuhku ke sandaran kursi.
Abnormal? Kenapa?
Selama ini Shaga kelihatan sangat sehat, tidak ada tanda-tanda bahwa ia tumbuh dalam keadaan abnormal.

"Tidak mungkin" Air mataku akhirnya mengalir dengan deras.
Jodi semakin erat menggenggam kedua tanganku.
"Saat Shaga lahir, ada beberapa jaringan ditubuhnya yang belum terbentuk sempurna dan kami menemukan jumlah sel darah putih yang lebih banyak di dalam darah atau sumsum tulangnya. Karna jumlahnya yang meningkat,  sel-sel darah putih yang sebetulnya tidak normal tersebut menggantikan sel darah yang normal. Ketidaknormalan ini membuat fungsi sel terganggu."

"Maksudnya?"

"Ya. Shaga mengidap penyakit Leukimia, kanker darah"

Aku menggigit tanganku sambil terisak.
"Oh God.. kanker? Shaga? Tidak mungkin! Shaga masih terlalu kecil untuk mengidap penyakit ini"
Dadaku sesak. Aku ingin berteriak sekencang mungkin.
Jodi memelukku sambil menangis.

"Leukimia limfasitik akut tepatnya. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak dengan puncak insideasi pada usia 4 tahun. Pada pasien ini terjadi proliferasi patologis sel-sel limfoid muda di sumsum tulang yang akan mendesak sistem hemopoietik normal lainnya, seperti eritropoietik, trombopoietik dan granulopoietik, sehingga sumsum tulang didominasi sel blast dan sel-sel leukemia hingga mereka menyebar sampai ke darah tepi dan organ tubuh lainnya dan akan terlihat tanda-tanda anemia seperti pucat, lelah, lesu, kemudian akibat infiltrasi sel leukemi ke sumsum tulang, demam, infeksi akibat penurunan daya tahan tubuh akibat aktifitas sel limfosit yang tidak normal, perdarahan kulit, gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, hingga perdarahan otak"

Tuuuhhhhaaaaannnn..........
Aku berteriak dalam tangisku mendengar penjelasan dari Mr. Hugo yang sepenuhnya tidak aku mengerti.
Mengingat lelaki kecilku yang kelihatan begitu sehat, begitu kuat, begitu bahagia mengidap penyakit yang mematikan.
Aku sama sekali tidak bisa membayangkan betapa menderitanya ia selama ini.

"Aku telah memberitahukan hal ini kepada Shane bahwa pada kasus ini kebanyakan penderita tidak akan bertahan lama, tapi Shane tetap yakin bahwa Shaga akan tetap bertahan, dan ia benar, hingga saat ini"

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, seakan tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
Hatiku hancur.
Jodi memelukku sambil menangis, aku tau ia pun sangat terpukul mendengar kata-kata dari Mr. Hugo. 
Ia sangat menyayangi Shaga seperti menyayangi anaknya sendiri.




"He'll be fine.. he'll be fine.."
Jodi mengatakan hal yang sama berkali-kali, aku mengangguk sambil terus terisak.
"We'll do our best, I promise.."
Mr. Hugo menghampiri kami dan tersenyum.
Aku hanya bisa mengangguk dan mengatakan terima kasih dengan suara yang tidak sepenuhnya keluar.

Aku berjalan menuju ruang ICU dengan perasaan yang tidak menentu.
Sesekali aku menyeka air mata yang sama sekali tidak bisa aku kontrol.
Jodi pamit ke mobilnya untuk mengambil handphone. Ia akan menghubungi Gina atau Rossie untuk menanyakan keadaan Koa.
Ia juga bilang akan menghubungi Shane agar segera datang kerumah sakit.
Tapi aku menggeleng, rasanya aku tidak ingin bertemu dengan Shane saat ini.
Untuk pertama kalinya aku marah pada Shane karna ia tidak berterus terang tentang keadaan Shaga.

Aku menatap Shaga dari balik kaca.
Berusaha menggapai tangan mungilnya yang terpasang selang infus.

"Bolehkah aku masuk suster?" Tanyaku kepada seorang suster yang keluar dari ICU.
"Maaf untuk saat ini belum bisa" Jawabnya sambil menunjukkan mimik menyesal.
"Please, just a minute" Kataku memohon.
Ia seperti sedang berpikir dan menengok kearah Mr. Hugo yang berada didalam ruangan bersama Shaga.
Mr. Hugo tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, silahkan cuci tangan disebelah sana dan pakai ini" Jawabnya sambil memberikanku sejenis jubah berwarna biru.

Aku menghampiri Mr. Hugo dan tersenyum.
"Thank you.." Kataku sambil memegang tangannya.
Aku segera berjalan mendekati Shaga yang masih tertidur.
Mencium keningnya, mengusap rambutnya, dan menggenggam tangan mungilnya.
Wajahnya sangat tenang.
"Mommy.." Shaga meremas tanganku, matanya masih terpejam.
"Ya baby, mommy's here" Aku mendekatkan wajahku kewajahnya sambil mengusap rambutnya.
Shaga tidak menjawab. 
Jantungku kembali berdetak sangat kencang.
Apa yang dirasakan anakku ini Ya Tuhan?
Bolehkan aku gantikan posisinya sekarang?
Aku tertunduk dan menangis,

"Why are you crying?" Tanpa aku sadari Shaga telah membuka matanya dan melihatku menangis.
"Baby, how's your feeling now?" Aku menatap wajahnya dan mencium keningnya.
"I'm good. but a lil' sleepy" Jawabnya sambil berpura-pura menguap lalu tersenyum, seolah-olah ingin menggodaku.
Aku tersenyum sambil mencium tanganku.
"Why are you crying mom? is there anyone bothering you? Tell me." Tangan mungilnya menyentuh pipiku, berusaha menghapus air mata yang sedari menetes.
Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Don't worry mommy, I will keep you safe. I promise.."

Shaga tersenyum sambil terus memegang pipiku. 
Aku memejamkan mataku. 
Merasakan sentuhan lembut dari lelaki kecilku.
Ia tidak mengerti bahwa dirinyalah yang sedang dalam bahaya.
Dirinya yang membuat air mataku tak henti-hentinya mengalir.
"Mommy loves you, baby" Aku mencium keningnya.
"Me too, mom, but I'm not a baby anymore"
Shaga melepaskan tangannya dari pipiku dan merontak.
Aku tertawa kecil.
You know how much I love my son, God..
Please keep him with me, forever.

Jodi telah kembali, ia berdiri dibalik pintu kaca sambil tersenyum.
"Jodi there, say hi" Aku menunjuk kearah Jodi.
Shaga tersenyum sambil melambaikan tangannya.

"Where's Koa, Jay, and Rocco?" Shaga menengok kearahku dan melihat kesekeliling.
Sepertinya ia baru menyadari bahwa ia tidak lagi berada di rumah Rossie.
Aku menjelaskan kenapa ia tidak berada di rumah Rossie. 
Ia hanya mengangguk sambil mengerutkan dahi.
"Hai buddy. Everything ok?" Mr. Hugo menghampiri kami sambil tersenyum kepada Shaga.
"Yup" Jawab Shaga sambil membalas senyumnya.
Aku melirik kearah Shaga dan Mr. Hugo.
Kenapa Shaga terlihat begitu akrab dengan Mr. Hugo sedangkan terakhir kali Shaga bertemu dengannya saat ia berumur 10 bulan.
Tapi aku tidak terlalu memikirkannya, Shaga anak yang mudah sekali akrab dengan orang lain.
Harusnya aku tidak heran.
Mr. Hugo memintaku untuk tunggu diluar sementara ia memeriksa tubuh Shaga.
Ia juga meminta izin padaku untuk mengambil sample darah Shaga untuk diperiksa di laboratorium.
Aku hanya berkata padanya, lakukan yang bisa membuat lelaki kecilku sehat.
Apapun.
"Bagaimana Shaga?" Jodi menghampiriku saat aku keluar dari ICU.
"Ia kelihatan sehat, mungkinkah Mr. Hugo salah menganalisis Shaga?"
Jawabku sambil melihat kearah Shaga yang tidak menangis saat  jarus suntik menusuk kulitnya, seperti sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini.
"Aku telah menelepon Kian, ia dan Shane akan segera sampai disini"
Aku menatap Jodi sambil menganguk.
Baiklah, aku akan meminta penjelasan dari Shane tentang apa yang telah terjadi dengan Shaga.
"Aku tau kamu pasti sangat marah, tapi berpikirlah positif, hal itu yang selalu kamu ajarkan padaku kan?"
Jodi berdiri disampingku sambil menatap kearah Shaga.
Aku menengok kearahnya.
"Tapi bagaimana bisa ia......."
"Darl, you know how much Shane loves you"  
 Jodi memotong pembicaraanku dan meyakinkanku bahwa Shane mempunyai alasan yang sangat kuat sampai ia tidak memberitahukan hal penting ini kepadaku.
Aku hanya terdiam.
Saat Rossie memberitahukan soal kebangrutan perusahaan kami, aku masih dapat menerima bahwa hal tersebut demi kebaikanku.
Tapi ini?
Rasanya sudah kelewatan.
Jika saja aku sudah tau dari awal, mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi.
Kami berdua bisa melakukan pengobatan sejak awal.
"Gilliaan.."
Aku tidak menghiraukan suara yang memanggilku. 
Hanya menatap kosong kearah Shaga.
Jodi menepuk bahuku dan tersenyum.
"Aku tau kamu bisa menyelesaikan ini dengan baik, darl
"Bagaimana dengan Shaga, Babe?"
Shane memelukku dari belakang sambil mencium kepalaku.
Jodi beranjak menghampiri Kian yang berdiri dibelakangku.
Aku hanya terdiam dan masih tetap melihat kearah Shaga.
Shane beranjak berdiri disampingku dan melihat apa yang aku lihat.
Ia meraih tanganku yang sedari tadi menempel di kaca.
"I'm sorry, babe. Aku tidak ada disampingmu dan Shaga saat kejadian itu berlangsung. Jodi telah menceritakannya"  
Jodi telah menceritakan apa? Apa ia telah menceritakan yang dijelaskan oleh Mr. Hugo?
Shane menatapku dengan tatapan yang memelas, aku menengok kearahnya lalu kembali melihat kearah Shaga. Ia mengikuti penglihatanku.
"Ah, my lil' man, daddy's here, son" Ia berkata sangat pelan sambil menempelkan kedua tangannya di kaca seakan ingin meraih Shaga.
"Babe?" Shane menatapku, menyentuh pipiku, tapi aku tetap diam.
Mr. Hugo keluar dari ruangan ICU, Shane segera berlari menghampirinya.
Ia terlihat tenang walaupun aku tau ia pasti sangat panik.
Shane sangat pintar menutupi perasaannya.
Jodi menarik tanganku dan mengajakku duduk di kursi tunggu bersama Kian sementara Shane berbicara dengan Mr. Hugo.
Entah apa yang mereka bicarakan.
"Kamu kelihatan pucat, sudah makan?" Tanya Kian yang duduk disampingku.
Aku menggeleng.
"Aku akan ke kantin untuk membeli sesuatu, kalian tunggu disini ya" Kata Kian lagi.
Jodi menggangguk, sementara aku hanya terdiam.
Selang beberapa menit Nicky datang sendirian, ia menghampiri kami yang sedang duduk diruang tunggu didepan ruangan ICU.
"How's Shaga?" Nicky sedikit berlari saat menghampiri kami.
"Shaga disana" Aku menunjuk kearah ruangan ICU.
Nicky berbalik dan melihat kebalik ruangan kaca.
"Oh My God, Shaga"  
Kata-kata itu yang pertama kali keluar saat Nicky melihat ke arah Shaga.
Matanya berkaca-kaca.
Ia menengok kearahku dan Jodi lalu berlari kearah Shane dan Mr. Hugo.
Mereka bertiga berjalan menuju ruangan Mr. Hugo.
Kian membawakan dua gelas teh hangat dan beberapa donat. 
"Thanks Kian, but I'm not hungry" Kataku sambil mengambil segelas teh hangat dari tangannya.
"Aku tau. Tapi kamu harus makan sedikit" Sahut Kian.
"Please, demi Shaga" Sambung Jodi.
Aku menatap kedua sahabatku ini sambil tersenyum.
Jodi memberiku satu buah donat keju, air mataku mengalir mengingat donat keju adalah makanan kesukaan Shaga.

"Memang sepertinya tidak tepat membicarakan hal ini sekarang.."
Kian memasukan satu buah donat coklat kemulutnya.
Aku menengok kearahnya.
Sungguh, aku tidak ingin mendengar berita buruk lagi. Apapun itu.
"Hunny, pelan-pelan" Kata Jodi sambil membersihkan sisa coklat di sekitar bibir Kian dengan tisu.
"Ada apa?" Tanyaku pelan.
"Westlife akan memulai konser reuni minggu depan." Jawab Kian sambil tersenyum lebar.
Aku melihat kearah Jodi yang juga tersenyum, lalu melihat kearah Kian.
"Hey? Kenapa?" Tanya Jodi yang melihatku tidak bersemangat mendengar kata-kata Kian.
Aku menggeleng sambil tersenyum.
Entah aku harus senang atau sedih.
Yang ada dipikiranku hanya Shaga, Shaga, dan Shaga.

Kian menceritakan hasil meeting mereka dengan Louis tadi siang.
Ia menceritakan dengan sangat semangat.
Aku hanya tersenyum mendengarkan perdebatan Kian dan Jodi.
Perdebatan yang mereka selingi dengan tawa untuk membuatku tersenyum.

Shane duduk disampingku sambil memegang tanganku.
"Sepertinya kalian harus beristirahat, terutama kamu, Gill" Kata Nicky yang berdiri tepat dihadapanku.
"Aku akan menjaga Shaga disini, kalian istirahat saja" Jawabku sambil mencoba tersenyum.
"Aku yang akan menjaga Shaga sampai kalian kembali, ia akan baik-baik saja, aku janji" Kata Nicky sambil memegang tangaku.
Shane tersenyum dan berdiri meraih tanganku.
"Come on, babe.. Kita pulang, ambil pakaian, dan mainan Shaga" Kata Shane.
Aku melihat orang-orang disekelilingku.
"Tapi Sligo-Surrey jauh" Sahutku.
Setelah sedikit berdebat dengan Kian, Nicky, Jodi, dan Shane akhirnya aku mengalah dan mengikuti kemauan Shane untuk pulang kerumah.
Selama lebih dari tiga tahun kebersamaanku dengan Shaga, kami tidak pernah pisah jauh.
Aku selalu berada didekatnya, walaupun terkadang Shane mengajak Shaga pergi hanya berdua.
Shane dan aku meminta izin untuk masuk keruangan anak kami.

"Mommy will back soon, baby"  Aku mencium keningnya.

Dear God..
Please take care of my little man
The one with big eyes, and soft brown curls.

He was special, as you should know.

Rabu, 20 Februari 2013

Imaginary Shaga -picture of me-

Hello everyone..
Let me introduce my self first.
My name's Shaga Hayden Filan.
You can call me Shaga or Hayden or lil'Shane ^o^

hi there, I'm Shaga

I was born in Sligo General Hospital on Oct 1st.
I'm the first child of my parents.
My Mommy, Gillian Walsh Filan and
My Daddy Shane Steven Filan

here they are, my beloved parents

 I would like to show you all my lovely picture.


So you can know me better.

Here I am ^_^

This is the picture of me with Daddy
when we're arrived at our home in Sligo from hospital.
I was three days old that time.



Mommy said that I really loves sleeping when I was a baby
especially sleeping on daddy's arm


Having me is such an amazing gift for my amazing parents.
And becoming a parent  for the first is one of the most rewarding and humbling experiences of their life.
Makes their love stronger,
days shorter and nights longer.

mommy's little boy
when I was five months old
i have hazel eyes like daddy
and I have a curly blonde hair like mommy



Ten tiny little fingers that always want to play,
that never stop exploring the wonder of today.
Ten tiny little fingers that from the very start,
will reach out for tomorrow yet always hold your heart.
 
 
Mommy....
Daddy....
Let's play :D

Best mommy in the world
an amazing daddy in the world

"If one feels the need of something grand, something infinite, 
something that makes one feel aware of God, one need not go far to find it.
I think that I see something deeper, more infinite,
more eternal than the ocean in the expression of the eyes of a little baby when it wakes in the morning and coos or laughs because it sees the sun shining on its cradle"




Loves,

Shaga Hayden Filan
xx

Selasa, 12 Februari 2013

Imaginary Shaga -4-

Aku dan Shaga bergegas menaiki mobil jeep hitam yang dibeli Shane saat ulang tahunnya yang ke-21, hari ini kami akan mengunjungi kediaman Mark dan Rossie di Sligo.
Mereka akan mengadakan baby's shower karna kandungan Rossie sudah menginjak bulan ke-8.

Hari masih gelap, waktu menunjukan pukul 05.00 dini hari,
Satu-satunya yang bersemangat sepagi ini adalah Shaga, ia terus-menerus menanyakan kapan kami akan sampai di kediaman Mark dan Rossie.
Ia tidak sabar ketika aku memberitahunya bahwa Koa, Jay, dan Rocco akan ada disana juga. Ia telah membawa beberapa mainan kesayangannya untuk dimainkan bersama.

"Mommy, will koa's mommy give me a mice?" Tanya Shaga yg duduk dipangkuanku.
Aku melirik ke arah Shane, dan ia pun tersenyum kearah Shaga..
"Maksudmu Mickey?" Sahutnya sambil mengacak-acak rambut Shaga.
"Mickey is a mice, dad" Shaga berontak ketika ayahnya mengacak-acak rambutnya.
Aku hanya tersenyum melihat kedua lelaki ini.

Sepanjang perjalanan Shaga tak henti-hentinya bertanya tentang apapun yang ia lihat.
Shane dengan sabar menjawab semua pertanyaan Shaga.
"Dad, when the baby will born?" Tanya Shaga sambil menyandarkan badannya di badanku.
"Sekitar satu bulan lagi, nak, kenapa? Can't wait to playing with the baby, right?" Jawab Shane sambil menyentuh hidungnya.
"Ya!" jawabnya cepat sambil sesekali menguap.
Sepertinya ia mengantuk.
"I wish I can playing with a brother in home" Kata Shaga tiba-tiba, aku melihat wajahnya.
Ia tertidur, aku dan Shane saling menatap. Entah kenapa hatiku sedih.
Apakah Shaga kesepian di rumah? Apakah ia menginginkan seorang adik yang bisa ia ajak bermain?

"I wish too.." Ucapku pelan sambil menatap kosong kearah depan.
Semenjak kelahiran Shaga 3 tahun yang lalu, aku tak pernah lagi merasakan hamil.
Entah apa yang salah denganku.
Shane menyentuh pipiku dan tersenyum. Seakan mengerti apa yang sedang aku pikirkan.
"You don't have to worry hun, God have a wonderfull plan for us.."
 Lagi-lagi suamiku ini membuatku terharu dan ingin memeluknya.
"Ya, ofcourse babe" Sahutku sambil tersenyum.

Sepanjang perjalanan kami berdua banyak berdiskusi tentang perusahaan dan rencana westlife reunion.
"Sepertinya aku pesimis, Westlife baru saja memutuskan untuk split up, hmmm.. "
Shane mulai ragu dengan kata-katanya. Westlife memang baru memutuskan split up setahun yang lalu, tapi aku rasa Nicky, Kian, Mark, bahkan Shane tidak terbiasa jalan sendiri-sendiri, ya walaupun aku tau mereka saling mendukung dan keluarga kami sering bertemu dan berlibur bersama.
"Aku yakin mereka akan mendukung kalian apapun yang kalian lakukan" Kataku sambil menatap wajahnya.
Selama 14 tahun, Shane, Nicky, Kian, dan Mark memang memiliki penggemar yang luar biasa banyak dan setia.
Saat mereka memutuskan untuk bubar karena sesuatu hal memang sempat ada beberapa penggemar yang marah, tapi setelah itu mereka mulai menerima dan mendukung penuh semua yang dilakukan oleh Shane, Nicky, Kian, dan Mark.
"Semoga..." Kata Shane tetap melihat ke depan.
Aku hanya tersenyum sambil menatapnya.
Mungkin apabila perusahaan kami tidak mengalami kebangkrutan, mereka masih berjalan sendiri-sendiri.
Entah ini musibah atau berkah untuk kami.
Yang pasti, everything happens for a reason.

Sesampainya di kediaman Mark dan Rossie, aku dan Shaga segera turun dari mobil sementara Shane memarkirkan mobilnya di halaman rumah.
Mark menyambut kami dengan hangat. Ia memakai kaos hitam dan jaket kulit warna senada.
"Hai ya Buddy, how are you?" Sapa Mark sambil menggendong Shaga dan mencium pipiku.
"Hai gill" sapanya lagi.
"Haii.. Acaranya sudah mulai?" Tanyaku sambil melihat ke sekeliling.
Dari luar sudah terpasang dekorasi khas baby's shower, semuanya berwarna biru.
Shane menghampiri kami sambil membawa hadiah untuk Rossie dan calon bayi mereka.
"Hai mark" sapa Shane sambil bersalaman.
"Dia sudah bertambah berat ya" kata Mark kepada Shane sambil mengacak-acak rambut Shaga.
"Ya, makannya sangat banyak" jawabku sambil tertawa kecil.
"Ayo turun, kita masuk kedalam" sahutku lagi.
Shaga hanya mengangguk dan turun dari gendongan Mark.

"Didalam sudah ada Gina dan Jodi, Gill, have fun dolls.." Kata Mark beranjak pergi ke arah mobilnya. "Oya, Pastikan Rossie tidak memakan semua cupcakesnya ya, ia membeli banyak sekali" kata mark berbalik badan sambil tertawa.
Aku mengangguk sambil tertawa kecil.
"Kami akan kerumah kian untuk membicarakan konser reuni dan akan kembali sebelum makan malam, Kian dan Nicky sudah menunggu disana." Kata shane sambil menciumku.
"Allright babe"
Shane mengangkat Shaga yang kelihatan tidak bersemangat sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Have fun buddy, jgn main tikus ya. Be good!" Seru shane sambil memeluk putra kami.
Shaga hanya mengangguk dan tersenyum.
Tidak biasanya ia seperti itu padahal tadi pagi ia kelihatan sangat bersemangat. Mungkin ia kecapean.

Aku berjalan masuk kedalam rumah sambil menuntun Shaga, dekorasinya sangat manis, banyak balon, hiasan-hiasan, cupcakes yang disusun seperti pohon natal di sudut rumah, dan banyak sekali hadiah.

"Haii darling" Sapa seorang wanita berambut blonde panjang yang sedang menggendong lelaki kecilnya.
"Hai Jodi, acaranya sudah mulai?" Sahutku sambil mencium pipinya dan menggendong Koa.
"Belum, kami menunggumu pangeran kecil" Jawab Jodi sambil berbungkuk dan mencium Shaga.
"You look sick, are you ok?" Seru Jodi sambil menempelkan telapak tangannya di kening Shaga, aku menengok ke arah mereka dan menurunkan Koa.
"Shaga sakit?" Tanya jodi kepadaku, aku menggeleng dan menggendong Shaga.
"Tadi pagi ia baik-baik saja, malah ia yang sangat bersemangat pergi kesini, mungkin ia mengantuk karna sepanjang perjalanan tadi ia tidak berhenti berdiskusi dengan ayahnya." jawabku mencoba menutupi kepanikanku.
"Shagaaa....." Panggil Jay dan Rocco bersamaan sambil berlari kearah kami.
"Haaaaiiii" sahut Shaga sambil memaksa turun dari gendonganku.
Mereka bertiga berlari ke arah halaman diikuti dengan Koa.
"Heey, hati-hati nak" kataku sedikit berteriak. Tapi sepertinya mereka sudah asik dengan mainannya.
"Sudah kubilang, ia hanya kecapean" kataku lagi sambil tersenyum.

Aku dan Jodi mengikuti mereka ke halaman belakang, meastikan bahwa mereka tidak bermain dengan binatang-binatang yang menjijikan (lagi).
"Shaga, aku punya ini, kamu mau?" Tanya Jay sambil memberikan dua batang coklat kepada Shaga.
"I love chocolate, thanks Jay" Jawab Shaga sambil mengambil coklat dari Jay.
"Kamu mau, Koa?" Tanya Shaga sambil memberikan 1 coklat kepada Koa.
Koa menggeleng sambil asik dengan mainan yang dipinjamkan Shaga kepadanya.
"Aku sudah memberikan dua coklat untuknya.." Kata Rocco sambil tersenyum.
"Jadi coklat ini untuk aku? Waah I'll give it to mommy.." Kata Shaga sumringah.
Jay dan Rocco mengangguk sambil tersenyum.

Aku hanya tersenyum melihat putra kecilku begitu baik.
"Well, guys, aku baru saja menangkap tikus dirumahku, kalian tau kan?" Kata Shaga, mukanya berubah menjadi serius. Jay dan Rocco mendekat kearah Shaga.
"Isshh, aku taku tikus, tapi aku baru saja dibelikan seekor burung hantu oleh mommy" Kata Jay antusias. "Yes, and we call it Mr. Owl" Seru Rocco sambil tersenyum.
Bocah berumur 5 tahun ini bergidik ketakutan ketika Shaga bercerita tentang tikus yang ditangkapnya.
"Oh ya? Wah, aku boleh ya bermain dengan Mr. Owl kalian" Kata Shaga antusias.
"Aku ingin mengajak kalian mencari tikus, tapi daddy tidak memperbolehkan aku bermain dengan tikus lagi" Lanjut Shaga, kali ini wajahnya terlihat murung.
Ah ia pintar sekali memainkan mimik muka, seperti Shane. Aku tersenyum.

"Lihat, sekarang bukan Koa dan aku saja yang menyukai Mickey, tapi Shaga juga" Kata Jodi sambil menepuk bahuku.
"Shaga bukan suka Mickey, tapi tikus" Sahutku sambil meninggalkan Jodi yang masih tertawa nakal.
"But Mickey is a mouse, darling" Kata Jodi sambil berlari mengejarku.
"Tapi Mickey tidak ada di dapur, apa lagi di jebakan tikus" Kataku sambil menepuk balik bahunya.
Kami berdua tertawa.

Jodi dan aku menuju ruang tengah, disana sudah ada Rossie, Gina dan beberapa keluarga yang semuanya wanita. Kami bercengkrama, tertawa, dan mendengarkan cerita tentang kehamilan Rossie.
Ia kelihatan sangat bahagia.

Hari semakin sore, semua keluarga Mark dan Rossie sudah pulang.
Aku, Gina, Jodi, dan Rossie duduk di depan perapian sambil membantu Rossie membuka hadiah-hadiah.
Sementara anak-anak masih bermain di halaman belakang.
Rumah Rossie dan Mark tidak terlalu besar, tapi sangat nyaman.
Halaman belakangnya disulap menjadi taman bunga yang indah.
Kebetulan Rossie sangat menyukai bunga dan ia bisa menghabiskan waktunya berjam-jam hanyak untuk berkebun.

"Jadi, calon anak kalian laki-laki?" Tanya Gina kepada Rossie.
"Iya, Mark sangat senang ketika tau calon anak kami laki-laki" Jawab Rossie sambil membuka beberapa hadiah.
"Koa, Jay, Rocco, dan Shaga akan punya teman bermain bola lagi" Sahut Gina.
Kami bertiga tetawa, kecuali Jodi yang asik dengan gedget-nya.
Selang beberapa menit Jodi tertawa sendiri, kami bertiga menengok kearahnya serempak.

"Hey, what's wrong darling?" Tanyaku sambil menepuk bahunya.
Rossie dan Gina tertawa.
"Oops, sorry darl, kalian harus coba aplikasi ini. Seru" Kata Jodi sambil menunjukkan i-pad nya.
"Aplikasi apa?" Tanya Gina sambil mendekat kearah Jodi.
"Twitter, darl. Banyak fans Westlife yang memohon padaku untuk menyampaikan salam kepada Kian, kata-katanya beragam, lucu.." Jelas Jodi sambil tertawa kecil.
"Aku tidak tertarik" Kataku sambil memalingkan wajahku kembali membuka hadiah-hadian milik Rossie.
"Tidak tertarik atau tidak paham cara menggunakannya?" Tanya Rossie menggodaku.
Aku tersenyum malu. Diantara ketiga istri the lads ini memang hanya aku yang buta teknologi, tapi jika hanya sekedar browsing aku masih bisa.
Kami meneruskan membuka hadiah-hadiah sambil sesekali Jodi membacakan pesan-pesan yang dikirimkan para fans Westlife ke akun pribadinya.

"Sepertinya akan hujan" Kata Rossie sambil menengok kearah luar.
"Dimana anak-anak?" Tanyaku sambil mengikuti arah pandangan Rossie.
"Sepertinya masih di halaman belakang." Jawab Jodi sambil merebahkan tubuhnya di sofa.

"Moooommmmyyyyyy!!!!!!" Seru seorang anak dari halaman belakang, aku tidak hafal suaranya, antara Jay atau Rocco.
Gina menengok kearah luar dan segera berdiri.
"Aku akan melihatnya keluar" Kata Gina sambil berjalan kearah halaman.
Kami masih sibuk dengan hadiah-hadiah yang diberikan oleh keluarga Mark dan Rossie.
Aku membuka sebuah hadiah yang didalamnya terdapat baju-baju mungil berwarna biru.

"Look at this, darl, it's so cuutee.." Kataku sambil menunjukkan little clothes kepada Rossie.
Rossie tersenyum sambil mengambil baju-baju itu dari tanganku.

"GGIIILLLIIIIAAAANNNN!!!!!!!!!!"
Teriakan Gina mengagetkan kami bertiga, dan serempak menengok kearah luar.
Aku segera berlari keluar, aku mendengar Jodi menyuruh Rossie tetap tinggal dikursinya sementara ia mengejarku.
Jantungku berdebar kencang, aku merasakan ada yang tidak beres.

Aku merasakan jantungku berhenti berdetak ketika aku melihat anakku dipelukan Gina berlumuran darah.
Shaga menengok kearahku dan tersenyum. Wajahnya pucat.
"Mommy.." Panggilnya kepadaku.
Aku segera menggendongnya.
"Oh my God, what happened with you, Shaga?"
Aku memeluk dan menciumnya, membersihkan darah yang terus-terusan mengalir dari hidungnya.
Beberapa kali ia batuk dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya.

Tuhaaaann.
Apa yang terjadi dengan anakku?
Dadaku sesak.
Aku mendengar Jay, Rocco, dan Koa menangis, Jodi dan Gina memeluk mereka.
Aku tidak bisa berpikir apapun.
"Help me Jodi, Gina.. help me.." Isakku kepada kedua sahabatku ini sambil terus memeluk Shaga.

"Tunggu disini, aku akan membawa Shaga ke rumah sakit." Jodi memberikan Koa kepada Gina.
"Mommaa.." Panggil Koa ketika ia digendong Gina.
"Stay here buddy, I'll be back soon. Be good!" Jodi berlari mengambil kunci mobilnya di tas.
Rossie menangis ketika ia melihat aku berlari kearah luar sambil menggendong Shaga yang berlumuran darah.

Hujan turun, aku berlari masuk ke mobil sedan hitam milik Jodi.
Bajuku sudah berubah warna menjadi merah. Jodi memberiku tisu untuk menyumbat darah yang keluar dari hidung Shaga.

"Keep him awake, darl" Kata Jodi sambil menengok kearah Shaga.
Aku mengangguk. Tanganku gemetar.

"How's your feeling, Hunny?" Tanyaku kepada Shaga. Ia hanya tersenyum.
Wajahnya masih terlihat pucat. Tapi ia masih bisa tetap tersenyum.
Aku tidak lagi bisa menahan tangisku.
Aku terisak sambil memeluk Shaga.

"Mommy, what's wrong with me?" Tanya Shaga di pelukanku.
"You will be fine, buddy" Sahut Jodi dibelakang kemudinya sambil menengok kearah Shaga.
Aku semakin terisak. Jodi memegang bahuku.
Ya. Shaga akan baik-baik saja.

Shaga beberapa kali akan memejamkan matanya, aku berusaha membuatnya tetap bangun.
Aku mengajaknya berbicara, ia hanya mengangguk atau menggelengkan kepalanya.
Sepanjang perjalanan aku tak hentinya berdoa untuk keselamatan anakku ini, sesekali aku menyanyikan sebuah lagu untuknya.
"Stay with me. Don't fall asleep too soon. The angels can wait for a moment
Come real close. Forget the world outside. Tonight we're alone. It's finally you and I.."
Walaupun suaraku tidak seindah suamiku, tapi setiap kali Shaga rewel ia akan tenang setelah aku menyanyikan lagu-lagu kesukaannya.Salah satunya lagu Written in the stars yang aku nyanyikan kali ini.
"It wasn't meant to feel like this. Not without you..."
Aku menatap wajahnya yang juga menatapku. Aku menghentikan nyanyianku sejenak, membelai rambutnya.
"Cos when I look at my life. How the pieces fall into place
It just wouldn't rhyme without you. When I see how my path
Seem to end up before your face. The state of my heart
The place where we are. Was written in the stars"
Aku tidak lagi bisa melanjutkan nyanyianku.
Air mataku terus mengalir.
"Don't be afraid. I'll be right by your side
Through the laughter and pain. Together we're bound to fly"

Tiba-tiba Shaga melanjutkan lagunya dengan kata-kata dan cara pengucapan yang terbatas.
Aku memeluknya.
Jodi melajukan mobilnya dengan cepat.
Jarak Sligo General Hospital terasa sangat begitu jauh saat ini.


 -cont-

Selasa, 05 Februari 2013

Imaginary Shaga -3-

Malam telah larut. Shane dan Shaga tertidur pulas disampingku.
Aku tak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan atas apa yang aku miliki saat ini.

Masih teringat jelas ketika Shane datang kepadaku, memintaku untuk menunggunya, entah apa yang perlu aku tunggu, ketika itu umur kami masih sekitar 12 tahun.

Dua belas tahun kemudian, saat kami berlibur disebuah pantai di Dubai, Shane memintaku untuk menjadi istrinya.

Tapi aku memintanya untuk berfikir lagi, karena saat itu Shane dan westlife sedang berada diatas angin, aku tidak mau ia ditinggalkan para penggemar yg patah hati karna ia menikahiku.
Tapi shane meyakinkanku.
"Aku tau aku akan mematahkan hati banyak penggemar saat menikahimu, tapi aku akan menyesal jika aku mematahkan hatimu karna tidak kunikahi. Jangan khawatir sayang, jika mereka menyayangiku, mereka akan menyayangimu juga"


Dan 28 Desember 2003 di Ballintubber Abbey kami menikah.
"Now, I come to this lovely lady on my left - my wife.
Gillian, what can I say? We've been going out for six years now and I've loved you for seven, that first year I practically failed my leaving cert.
Not to worry about it, Gillian you look like a true princess today, seeing you coming down that aisle was the most amazing moment of my life and putting that ring on your finger *becomes tearful and pauses*..... I can't describe a love like that, I wasn't going to do this.. but it was something I've always wanted to do - I just love you so much...
Sepenggal Shane's speech di acara pernikahan kami.
Aku menangis haru, begitupun Shane.
Ya. kami memang sempat berpacaran sebelum ia melamarku.
Tapi tidak ada satu orangpun yang tau, hmm mungkin hanya orang-orang terdekat.
Aku memintanya untuk merahasiakan ini dari public. 

Dan kami pergi ke Hawaii untuk berbulan madu.

Beberapa kali aku mengalami keguguran, dan dokter memvonis rahimku tidak cukup kuat untuk menjadi "rumah" bagi janin yang aku kandung.
Putus asa? Tidak. Kami terus berusaha dan berdoa.
Kami yakin Tuhan punya rencana yg lebih indah.

Tahun 2006 aku dinyatakan hamil oleh dokter kandunganku, itu adalah kehamilan keempatku.
Menginjak usia 4 bulan, lagi-lagi aku harus merelakan bayiku pergi sebelum sempat memilikinya.
Saat itu Shane dan Westlife sedang mengadakan tour keliling dunia, dan aku harus mengabarkannya lewat telepon. Kejadian ini membuat Shane begitu terpukul, ia tidak ada disampingku saat aku membutuhkannya.
Tapi aku berusaha setegar mungkin, meyakinkanya bahwa aku dalam keadaan sangat baik. Walaupun sebenarnya keadaanku sangat buruk, terlebih perasaan trauma yang selalu menghantui.

Setelah kejadian itu, Westlife vakum untuk beberapa saat dan Shane mengajakku berlibur.
Ia tidak pernah menyinggung masalah baby diusia pernikahan kami yg hampir 4 tahun.
Shane slalu mengatakan bahwa mungkin Tuhan tengah mempersiapkan malaikat kecil terbaik untuk kami suatu hari nanti. Dan ia sama skali tidak keberatan apabila sampai saat ini kami masih berdua.
Tapi aku sangat yakin, Shane sangat menginginkan hadirnya seorang anak ditengah-tengah keluarga kecil kami. Terlebih Nicky dan Gina baru saja mendapatkan bayi kembar.

Setahun kemudian aku hamil, tapi ketakutanku akan kehilangan calon anak kami sangat besar.
Beberapa kali aku dilarikan kerumah sakit karena mengalami pendarahan, tapi (thanks God) calon bayi kami kali ini sangat kuat. Ia masih bisa bertahan didalam rahimku.
Saat usia kehamilanku masuk bulan ke-8, kami sangat bahagia, berarti tinggal 1 bulan lagi penantian panjang kami akan berakhir.
Kami mulai mencari-cari nama, belanja keperluan baby dan menyiapkan kamar untuk malaikat kecil kami.
Sangat menyenangkan.
Tapi kami salah, sebelum menginjak bulan ke-9, lagi-lagi aku harus dilarikan kerumah sakit dan dokter menditeksi ada kelainan dalam kehamilanku.

Dan inilah ujian paling berat dalam 5 tahun pernikahan kami, terlebih untuk Shane.
Dokter memintanya memilih, antara aku yang diselamatkan atau calon bayi kami.
Tentu saja Shane marah, itu sama sekali bukan pilihan.
Tapi dokter tidak bisa berbuat apa-apa, ia harus mengambil tindakan cepat sebelum terlambat.
Ia datang padaku dan menangis sejadi-jadinya. Selang infus telah dipasang ditanganku, selang oksigen yang akan membantuku bernafaspun telah terpasang dihidungku, juga alat picu jantung yang dapat memantau detak jantungku dan calon bayiku lewat sebuah layar tv kecil.

Aku menggenggam tangannya, ia tertunduk dengan air mata yang terus mengalir.
"Hun, selamatkan bayinya, aku ikhlas" aku berkata dalam sadarku sambil menyentuh pipinya yang basah karena air mata.
Shane menatapku dan menggeleng.

"Kita sudah menunggunya selama 5 tahun, biarkan ia hidup dan mengenalmu"

Tangis Shane semakin pecah, tanganku menggenggam tangannya semakin erat.
"Segera ambil keputusan sayang, apapun yang akan kamu putuskan, aku yakin itu pasti yg terbaik. Aku menginginkan anak ini, begitupula kamu, even aku tidak akan pernah melihat wajahnya. Selamatkan dia sayang, aku mohon"

Shane menatapku sambil mengusap air matanya.
"Aku yakin ini yang terbaik" sahutnya mantap.

Aku memejamkan mataku dan mengangguk.

"I love you, Gill, with all my heart" Shane mencium keningku, mengusap perutku, lalu pergi menemui dokter.

Beberapa jam kemudian, aku terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa disekujur tubuhku.
Aku melihat Shane tersenyum didepanku sambil memegang tanganku.
Kenapa aku masih hidup? Apa Shane memilih untuk menyelamatkan aku dibandingkan menyelamatkan anak kami?

"Kenapa kamu memilih menyelamatkan aku?". Aku mulai terisak, rasa sakit disekujur tubuhku terkalahkan oleh rasa sakit kehilangan anak yang seharusnya bisa aku pangku saat itu.
Shane mendekatkan wajahnya ke wajahku dan mencium keningku.
"Kamu wanita yang sangat kuat yang pernah aku temui, sayang" Bisik Shane.
Aku hanya menangis dan memejamkan mataku.
Saat aku membuka mataku, aku melihat Jodi menggendong sesosok bayi mungil.
Ia menghamipiriku dan memberikannya bayi tersebut kepadaku.
"Here's your angel, darl.." seru Jodi sambil tersenyum.
Aku melirik ke arah Shane dan ia tersenyum.
Melihat sekelilingku, sudah banyak orang disana. Keluargaku, keluarga Shane, Nicky, Mark, Kian, Gina, Jodi, dan Rossie.
Air mataku mengalir dan segera menimang malaikat kecilku.
Menciuminya sampai ia terbangun dan menangis.
Tak henti-hentinya aku bersyukur kepada Tuhan untuk semua yang terjadi hingga saat ini.
Hari pertamaku menjadi seorang Ibu sangat luar biasa.

Dialah malaikat kecilku, Shaga Hayden Filan.
Anak paling kuat yang pernah aku temui.

 xxx

Aku mencium lelaki kecil yang berada disampingku, aku menangis.
Terima kasih Tuhan.

"Hun, you still awake? Hey, why are you crying?"
Shane terbangun dan melihatku menangis.
Aku menggeleng dan tersenyum.
"Aku gapapa Sayang, hanya teringat masa lalu kita"
"Yang mana?"
"Semuanya. Aku merasa sangat beruntung"
Aku menatap wajahnya dan tersenyum. Shane pasti tau apa yang aku maksud.
"Ehmm, hun, waktu dokter memintamu memilih menyelamatkanku atau Shaga, kamu memilih siapa?" Tanyaku kepada Shane. Ia membetulkan posisi duduknya dan tersenyum.
"Kamu.." Jawabnya cepat.
Aku merubah posisiku dan duduk didepannya, Shaga ada ditengah-tengah kami.
"Iya, kamu. Aku meminta dokter untuk menyelamatkanmu. Aku sangat mencintaimu, dan tidak siap harus kehilanganmu saat itu. Aku berpikir, akan lebih mudah menjalani sisa hidupku berdua denganmu tanpa anak, dibandingkan menjalaninya hanya dengan anak, tanpa kamu.." Shane menyentuh pipiku dan menatapku.
Aku tersenyum, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku.
"Kamu yang membuatku kuat, Gill. Aku tidak tau bagaimana kehidupaku tanpamu"
Ah. Shane. Rasanya Tuhan begitu baik kepadaku, memberikanku dua malaikat sekaligus.
Aku menggenggam tangannya kuat-kuat dan tersenyum.
"Thanks, hun. I love you, with all my heart". Kataku mengenang kata-kata yang diucapkan Shane sewaktu ia akan meninggalkanku di ruang operasi.
Shane tersadar dan tertawa.

"Kamu perlu istirahat sayang, ayo tidur. Anyway, tadi siang aku menunggumu dan Shaga untuk makan siang, tapi kamu tidak datang". Shane menyentuh hidungku sambil tersenyum.
"Oops.. Sorry hunny, aku rasa aku lupa. Rossie datang saat aku membereskan tikus yang dimainkan Shaga dan kami mengobrol banyak tadi"
 Jawabku sambil tertawa kecil.
"Ah ya, the mice. Dari mana Shaga tau soal tikus?"
"Dia pasti melihatmu menaruh jebakan itu didapur"
"Tapi kenapa ia bisa sebegitu sayangnya dengan hewan kecil itu, hun?"
"Hmm.. Saat Jodi dan Koko datang berkunjung 3 hari yang lalu, ia mengajak Shaga menonton film Mickey Mouse, Kamu tau kan Jodi sangat menggilai Mickey Mouse disamping menggilai Kian? haha" Aku tertawa kecil sambil menutup mulutku karena Shaga mulai merasa kebisingan.
"Moomm.. Daaddd..." Benar saja, Shaga memanggil kami dengan posisi mata yang masih terpejam.
Shane menepuk tanganku dan tertawa kecil.

Ah Aku mencintai keluarga ini.

-cont-

Senin, 04 Februari 2013

Imaginary Shaga -2-

Hari semakin sore, Shaga masih bermain dengan Rossie di halaman belakang.
Aku masih Shocked dengan berita yang aku dapatkan dari Rossie, duduk didepan tv dan mencoba untuk mencari kebenaran.
Mungkin waktunya salah, aku sama sekali tidak menemukan berita apapun tentang suamiku.
Aku masuk keruang kerja Shane, tempat dimana ia bisa menghabiskan waktunya berjam-jam untuk membuat lagu atau hanya sekedar browsing.
Aku memberanikan membuka laptop miliknya dan mencari-cari berita tentang kebangkrutan yang dialami perusahaan Shane dan Kakaknya.
Dan aku menemukan headline news sebuah situs berita online menuliskan ini:
'My property empire will survive': Shane Filan insists the crash hasn't left him facing disaster
Aku membacanya berulang-ulang. Ada foto perusahaan kami, fotoku, foto saat pernikahan kami, foto Shane dan Finbar.
Tulisan tentang bagaimana optimisnya Shane menghadapi "bencana" ini membuatku ingin sekali memeluk suamiku sekarang juga.

Ohh Tuhaaannn...
Lagi-lagi aku menangis membaca kata demi kata berita online tersebut.
Tiba-tiba Shaga datang bersama Rossie.

"Mom, why are you crying? did I hurt you?" Shaga menghampiriku dan memelukku.
"Shaga janji ga nakal, mom, jangan nangis.."
Aku memeluknya dan menghapus air mata yang terus- menerus mengalir.
Rossie melihat kearah laptop, menatap kearahku dan ikut memeluk kami berdua.
"Mommy gapapa sayang, ayok main lagi" Ucapku sambil menatap mini shane dihadapanku.
Kami bertiga kembali keruang keluarga, duduk diatas karpet bulu, menemani Shaga bermain dengan miniatur kuda kesayangannya.

xxx

Shane dan Mark datang bersamaan.
Aku memutuskan untuk diam dan tidak menanyakan apapun pada Shane sampai ia sendiri yang menjelaskannya padaku.

"Hai, Hun" Sapaku sambil memeluknya, seperti biasa. Shane mencium pipiku.
Aku menatapnya dan tersenyum.
Terlihat ada guratan keheranan diwajahnya.
"Ada apa sayang?" Tanya Shane sambil menatapku dan sesekali melirik kearah Mark dan Rossie.
"Ada apa? nothing!" Jawabku cepat sambil tersenyum,
"Pasti kamu lapar, makan yuk, ayo Mark, Rossie, makan" Sahutku lagi sambil melepaskan pelukannya dan berjalan kearah dapur.
Aku melihat Shane menggendong Shaga dan mendengarkan celotehan anak kami tentang "kejahatanku" yang mengusir teman barunya.

Aku menyiapkan hidangan makan malam saat itu, dan mempersilahkan Rossie dan Mark makan bersama kami. Membicarakan tentang kehamilannya membuatku iri.
Setelah makan malam selesai, Rossie membantuku membereskan meja makan.
"Gill, apa kamu akan langsung berbicara dengan Shane tentang apa yang aku ceritakan tadi?" Tanya Rossie sambil mengoper piring kepadaku.
Aku menggeleng. "Aku akan menunggu Shane sendiri yang memulai pembicaraan itu, Ross"
Rossie menatapku dan memegang bahu kananku.
"Kamu istri yang baik, aku yakin kalian bisa melewati ini bersama-sama" Kata Rossie lagi sambil memelukku.
"Thanks, Rossie" Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak menetes.

Setelah itu Rossie dan Mark pamit untuk pulang.
Aku memintanya untuk stay dirumah kami sampai besok, karena hari semakin malam, dan Rossie sedang mengandung.
Tapi mereka menolak, Mark akan menginap dirumah adiknya di London.

xxx

Aku mengantarkan Shaga kekamarnya, membacakan dongeng sampai ia tertidur.
Setelah ia terlelap, aku mencium keningnya, mematikan lampu, dan bergegas keluar kamarnya.
Tiba-tiba Shane muncul dibalik pintu.

"Hun, kamu membuatku kaget.."
Seruku sambil berlalu pergi.
Baru beberapa langkah beranjak dari hadapannya, Shane menarik tangaku.
Aku terhenti dan menengok kearahnya.
"What's wrong hunny?" Tanyanya sambil menatapku dalam-dalam.
Aku menghindari tatapannya dan mencoba untuk berlalu.
Tapi Shane menahanku
"Hei, ada apa?" Sekali lagi Shane bertanya dan mencari arah mataku.
"Gak ada apa-apa sayang" Jawabku cepat sambil mencoba kuat menatap matanya dan tersenyum.
"Shaga bilang sama aku kalo kamu nangis tadi" Kata Shane lagi.
Aku tersentak dan segera berlalu ke kamar kami. Kali ini Shane tidak menahanku.

"Hun..." Panggil shane ketika aku sedang membereskan tempat tidur kami.
Aku menengok kearahnya dan tersenyum.
"Ya, sayang.." sahutku.

"Kamu gak bisa menyembunyikan apapun dariku" Ucap Shane sambil duduk di tempat tidur yang sedang aku rapihkan.
Aku mengangkat alisku dan masih menatapnya.
Shane menunduk dan meraih tanganku. Seakan-akan memintaku untuk duduk disampingnya.
"Tapi aku yang menyembunyikan sesuatu darimu.." Lanjut Shane, aku duduk disampingnya, tatapanku tak bisa lepas dari wajahnya.
"I'm so sorry, hun. Kamu harus tau hal ini dari orang lain. Aku hanya tidak ingin kamu ikut khawatir memikirkan soal ini" Shane masih tertunduk, tangannya masih memegang erat tanganku.
Aku mengangkat dagunya hingga kepalanya tidak lagi tertunduk.

"Shane, aku merasa tidak bisa menjadi istri yang baik untukmu, aku yang harusnya minta maaf"
Ia menatapku heran. Tangannya tidak lagi menggenggam tanganku.
"Bagaimana bisa aku membiarkan suamiku memikul beban seberat ini sendirian."
"Kamu sudah tau, Hun? sudah tau semuanya?"

Aku menggangguk sambil mencoba tersenyum.
"Aku tau, kenapa Maired, kakakmu, menutup butik yang kita besarkan bersama, bukan sekedar kamu takut aku terlalu cape. Aku tau kenapa kamu selalu bergegas pergi ketika Finbar menelepon, bukan karena masalah kecil yang harus kalian selesaikan dan aku juga tau kenapa kita bertiga pindah kesini...." Aku tidak lagi meneruskan perkataanku. Tenggorokanku seperti tercekik dan air mataku tak lagi bisa aku bendung.

"hunnyy...." Shane memelukku.
Kami berdua menangis, aku merasakan beban yang ditanggungnya begitu besar.
"Maafkan aku, Gill.."
"It's not your fault, hun"
"Aku shocked ketika Finbar menjelaskan bahwa Eropa mengalami krisis dan banyak perusahaan properti yang bangkrut, terlebih ketika ia mengatakan perusahaan kami termasuk didalamnya. Yang aku pikirkan saat itu adalah bagaimana cara membangkitkan perusahaan ini lagi dan bisa membayar semua hutang ke Bank tanpa harus melibatkan keluarga, khususnya kamu dan Shaga. Aku yakin aku bisa, tapi kenyataannya pinjaman Bank terus berbunga dan aku kesulitan untuk membayarnya, begitu juga Finbar." Shane menghela nafasnya.
Aku menggenggam tangannya erat. Seakan ingin memberikannya kekuatan.
"Finbar menjaminkan butik milik Maired dan kamu waktu itu karena perkembangannya pesat, sementara aku menjaminkan rumah kita. Dan saat kami tidak lagi bisa membayar, negara menyita semuanya. Itu kesalahan terbesarku, Hun. Membiarkan rumah kita disita negara dan mengajakmu tinggal di tempat ini"
"Maafkan aku.. Aku bukan suami dan ayah yang baik"
Shane menunduk dan menangis, Ia terlihat sangat menyesal.

Aku berdiri meninggalkannya dan mengambil kertas berisi berita tentang ke-bangkrut-an kami dari media Online. Shane membacanya, dan menggelengkan kepalanya.
"Setelah semua hartanya disita, untungnya dia masih punya kesempatan menyimpan satu benda berharga. Barang itu tak lain adalah cincin pernikahannya dengan Gillian." - KapanLagi.com
"Apa ini benar, hun? Apa separah ini?" Tanyaku sambil menatap lekat wajahnya yang terlihat muram.
"Benar, Gill. Semua aset atas namaku dan Finbar disita negara. Aku tak lagi punya apa-apa. Hartaku yang paling berharga hanya kamu dan Shaga"
Aku memeluknya sekali lagi, membiarkan tangisnya tumpah dipelukanku.
"Hmm Shanee.." Panggilku sambil mencopot cincin pernikahan kami dari jari manisku.
"Ambillah ini untuk membayar pinjaman di Bank, mungkin tidak akan banyak, tapi akan sedikit membantu mengkikis sedikit demi sedikit" Aku menyerahkan cincin pernikahan kami kepada Shane. Ia menatapku dan air matanya mengalir.
"Jangan sayang, cincin ini tanda cinta kita, aku tidak ingin jatuh ketangan orang lain" Ia memasangkan kembali cincin pernikahan kami kejari manisku, mencium tanganku dan memelukku lagi.
Aku beranjak dan mengambilkan segelas air putih untuknya. Saat aku kembali, Shaga sudah bersama Shane diatas tempat tidur kami.

"Hey buddy, kamu bangun?" Seruku dari pintu kamar.
"Yes, mom, can i sleep with you?" Jawab Shaga sambil sesekali menguap.
"Sure" Jawabku cepat. Aku memberikan segelas air putih kepada Shane dan menghampiri malaikat kecilku.

Shaga tertidur pulas ditengah-tengah aku dan Shane. Kami menatap wajah mungilnya.
"Dia sepertimu, hun, manis sekali" Ucap Shane sambil mengusap rambut blonde Shaga.
"Dan nakal sepertimu.." Jawabku sambil tersenyum.
"Aku sangat bersyukur memiliki kalian berdua. Jangan tinggalkan aku ya hun.." Pinta Shane, kali ini ia mengelus pipiku.
"I promise.."
Dan Shane mencium bibirku.

Ya. Shaga. Si manusia kecil penuh kejutan inilah penyemangat, penghibur, dan motivasi terbesar kami untuk bangkit dari keterpurukan ini.
Kami yakin, kami bisa melewatinya bersama-sama.

-cont-




Imaginary Shaga -1-

SHAAAGGGGAAAAA!!!!

Akhirnya aku sedikit berteriak , antara lega dan panik menemukan lelaki kecilku, karena sedari tadi ia tidak menampakkan wajahnya dihadapanku.

"what are you doing there?" Aku berlari kecil menghampiri bocah berumur 3 tahun itu yang entah sedang apa di halaman depan.

"mommy, you've shocked the mice" Shaga menengok kearahku dan berbicara dengan suara pelan.

"Whaatt??" Aku terkejut mendengar kata-katanya.
Dan lebih terkejut lagi ketika aku melihat Shaga bermain- main dengan seekor tikus.
Ya. tikus! hewan kecil yang menjijikan.

"hei, hei, lepaskan, Shaga! Mommy geli" Aku berdiri dibelakangnya dan sedikit mengguncangkan bahunya.
"Tapi kasian, mom, dia terjebak di tempat itu" Shaga menunjuk kearah kotak jebakan tikus yang sengaja ditaruh daddy-nya di dapur.
Wajahnya memelas, tangannya tetap memegang hewan pengerat.
Aku bergidik melihatnya.

"No, Shaga! Ayo, taruh ditempatnya lagi, kalau daddy tau kamu pasti kena marah"
Ucapku sambil mengambil jebakan tikusnya dan memberikannya kepada Shaga.

"Come on! let it in!"
"But, mooommm.." Serunya memelas.
Aku menggelengkan kepalaku.
"Bolehkan aku memeliharanya?" Pintanya masih dengan tatapan memelas.
"No!" Jawabku cepat.

OMG. Ada apa dengan anak ini? Umurnya masih 3 tahun dan tubuhnya belum sampai 1 meter tapi dia senang sekali membuatku jantungan.
3 hari yang lalu ketika Koko 2 tahun, anak Kian dan Jodi datang berkunjung ke rumah.
Shaga mengajak Koko bermain dengan cacing tanah dihalaman belakang, dan hampir memasukan binatang tak bertulang itu kemulutnya.
Bukan cuma itu, beberapa minggu yang lalu dia masuk kekandang kuda bersama ayahnya dan tertidur didalamnya.
Waktu ayahnya bertanya apa yang ia lakukan disana hingga ia tidak ikut keluar dengan ayahnya?
Dengan santai ia menjawab "Aku sedang menemani Clover, dad. Dia pasti kesepian tidur disini sendiri"
Bagaimana jika tubuh kecilnya itu tertindih clover? atau tidak sengaja tertendang?
Hampir saja aku pingsan saat melihatnya tertidur diatas jerami disamping kuda jantan yang tingginya berkali-kali lipat dari tinggi Shaga.

Dan hari ini, ia menghilang sejak pagi dan ditemukan dalam keadaan "bermain" dengan kawan kecil barunya, si tikus-kecil-bau-jelek.
Sekarang ia terus merengek memintaku untuk memelihara hewan itu.

"Ayo cepat mandi, kita makan siang bareng daddy" Seruku sambil membawa kotak perangkap tikus yang sedari tadi ditatap penuh kasih sayang oleh lelaki kecilku.

Aku selesai memandikan Shaga dan membereskan jebakan tikus ketika ada seseorang menekan bel rumah.
"Haaaiii.." Aku memeluk wanita bertubuh kurus yang sedang hamil itu.
Rossie, istri Mark, sahabat suamiku yang sedang mengandung 5 bulan.
"Halloo darl, apa kabar?" Sahutnya.
"Kenapa gak kasih kabar kalo mau kesini? kan bisa aku jemput? anyway, kamu sendiri?"
Kami berjalan masuk dan duduk diruang tamu.
"Yap, aku sendiri. Memang Shane gak bilang ya?"
"Bilang apa?" tanyaku heran.

Semenjak Westlife memutuskan untuk split up, aku, Shane, dan Shaga memang memutuskan untuk keluar dari istana kami di Sligo dan memilih tinggal di Surrey, London.
Selain karena Shane yang akan melanjutkan mimpinya menjadi penyanyi solo, kami juga memikirkan psikis anak kami, Shaga. Karena hampir setiap hari ada saja fans dari berbagai negara datang ke rumah kami dan melakukan hal-hal aneh.

"Hmm, kamu benar-benar tidak tau, Gill?" Tanya Rossie, mukanya sangat serius, tidak seperti biasanya.
"What's wrong, Ros?" Aku menatapnya dalam-dalam.
"Well, aku mendengar perusahan kalian mengalami.. hhmmm.. kebangkrutan dan harus membayar berjuta-juta pounds kepada pihak bank" Rossie menghela nafasnya berkali-kali.
Aku masih menatap matanya dalam-dalam, seakan tidak percaya atas apa yang ia katakan barusan.
"Dan hari ini, Mark, Nicky, Kian, dan Louis berada di London, bertemu Shane. Mereka akan mengadakan konser lagi, untuk sedikit membantu Shane menutupi hutangnya, dan menebus istana kalian di Sligo"
"Are you kidding me?"
Penjelasan Rossie membuat air mataku mengalir. Ia menjelaskan semuanya, se-detail mungkin.
Penjelasan yang tidak pernah aku dapatkan dari suamiku.
Unbelieveable. Shocked.

Sekarang aku mengerti kenapa kami sekeluarga pindah ke Surrey dan meninggalkan istana kami di Sligo yang penuh dengan kenangan.
Aku juga mengerti, kenapa belakangan ini Shane terlihat murung dan beberapa kali pamit kepadaku untuk pergi ke Irlandia setelah mendapat telepon dari kakaknya, Finbar.

Tuhaaaannn....
Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, menangis,
Rossie memelukku erat dan mengusap kepalaku.

"Tenang, sayang, kami ada disini bersama kalian.. Jangan sedih.."
Rossie mencoba menguatkanku.
Ia melepaskan pelukannya dan mengambilkanku segelas air putih.
"Thanks, darl" Ucapku lirih sambil meneguk air digelas yang diberikan Rossie lalu menyandarkan tubuhku di sofa.

"How's your feeling now?" Tanya Rossie sambil menatapku.

"Not really good, Ross, bagaimana bisa Shane memikul masalah sebesar ini sendirian?" Aku menatap kosong kedepan, air mataku mengalir tanpa bisa lagi aku tahan.
Memikirkan bahwa berbulan-bulan Shane menyimpan beban ini sendirian tanpa membaginya dengan aku.

"Shane tidak mau kamu ikut memikirkan hal ini, ia yakin bisa menyelesaikannya sendiri" Sahut Rossie sambil memegang tanganku.

"Tapi buktinya Shane gak bisa kan Ross? Dia meminta kalian untuk membantunya kan?" Aku menengok kearah Rossie yang masih menatapku.

"He didn't ask anything to us, darl. Kami semua yang mau bantu, karena semakin banyak pemberitaan diluar sana"
Jawab Rossie.
"Pemberitaan ini udah beredar? Seluruh dunia tau? Jadi cuma aku yang gak tau?" Air mataku semakin deras mengalir. Aku memang tidak pernah mengikuti pemberitaan diluar sana karena aku pernah mendapatkan teror dari salah satu penggemar Shane hingga aku jatuh sakit. Dari situlah Shane memintaku untuk tidak menonton tv atau mengikuti berita-berita tentang Westlife. Aku meng-iya-kan karena bisa fokus mengurus Shaga. Dan Rossie tau itu.

Anyway, aku teringat meninggalkan anakku dikamarnya dengan keadaan sedih tadi, dan aku melupakannya.
Aku bangkit dari dudukku dan meminta Rossie ikut bersamaku ke kamar Shaga.

"Shaga?" Panggilku pelan saat melihatnya tertidur dengan memeluk boneka Mickey Mouse hadiah dari Jodi.
Aku duduk disampingnya, mengusap kepalanya.
"Dia semakin mirip Shane ya?"
"Ya. Sangat mirip. Kelakuannya pun, senang sekali mereka bikin aku jantungan. Tadi sebelum kamu datang, ia sedang bermain dengan teman barunya"
"Haha. Teman barunya?"
"Iya, Shaga mengeluarkan tikus yang terperangkap di perangkap tikus dan "bermain" dengannya"
"Oh my God, Shaga" Rossie tertawa pelan.

"Mommy, where is my mice?" Tiba-tiba Shaga bangun dan menanyakan tikus-kecil-jelek-bau-nya itu.
"Hey, Shaga, main sama tante sini" Seru Rossie sambil mengusap rambutnya penuh kasih sayang.
Shaga menatapnya penuh keheranan, mungkin dia lupa, siapa yang mengajaknya bicara.
Shaga sudah lama sekali tidak bertemu tantenya yang satu ini.
"Kamu lupa ya nak? ini tante Rossie, yang kasih kamu hadiah pesawat seperti punya koko" Aku mencoba mengingatkannya kembali.
Shaga tersenyum "Hai tante.. Mommy baru saja mengusir temanku"
Ia mulai mengadu, aku tersenyum kecil.
"Kamu masih mau main sama temanmu itu ya?" tanya Rossie, aku menyenggol tangannya dengan tanganku. Rossie melirik kearahku dan tersenyum.
"Ya tante.." Shaga menjawab cepat sambil membetulkan posisinya menjadi duduk.
"Koko's mommy gave me this" Sahut Shaga lagi sambil menunjukkan boneka Mickey mouse kearah Rossie.
Rossie lagi-lagi tersenyum. "Then you wanna playing with the real mickey, right?"
Shaga mengangguk. Dan bercerita bagaimana serunya saat menonton video Mickey Mouse bersama Koko dan Mamanya. Ia bercerita sangat detail. Sangat baik untuk anak seumurnya.
Ah. Rossie benar. Jodi memberikan boneka ini 3 hari yang lalu waktu mereka datang berkunjung, dan sekarang Shaga ingin bermain dengan the real Mickey.
Aku memeluk Shaga dan tertawa bersama Rossie.
Anak ini, memang selalu menjadi obat kesedihanku.

-cont-